Tag: pacaran

Bantu Aku Menjaga Mataku

Tinggalkan masa lalu ukhti. Ini saatnya kita berfikir jernih: menunda berhias sampai ia menjadi berpahala. Adalah konyol, berhias untuk orang yang belum pasti menjadi suami atau istri, sementara di dalamnya kita melanggar larangan Allah dan mengundang murkanya dengan make up perilaku jahiliyah. Dengarlah, Allah sendiri yang mengajakmu bicara:

“…Dan janganlah kalian berhias dan bertingkahlaku seperti orang2 jahiliyah dahulu…” (Al Ahzab 33)

Mata adalah jendela hati dan kurir zina. Betapa banyak bencana akibat mata tak terjaga. Dan betapa cerdas iblis, yang menyediakan banyak alternatif untuk mengisi retina hati dengan pandangan memabukkan berupa cara berhias dan bertingkahlaku jahili. Menatap perilaku dan kelincahan memang membahagiakan. Melihat engkau berhias cantik, pasti membuat aku tertarik. Memandangmu…, walau selalu.., kata seorang penyanyi, tak akan pernah tumbuh jemu di hatiku.

Astaghfirullah, seharusnya kebahagiaan, ketertarikan, dan kejemuan itu tak perlu hadir jika ia menghadirkan nyala neraka di pelupuk. Engkau lebih tahu bagaimana menjaga dirimu dari mataku. Bantu aku menjaga mata ini, agar kita semua selamat sampai akhir nanti.

Sumber : Buku Nikmatnya Pacaran Setelah Pernikahan (Salim A. Fillah)

Cinta Kita Cinta Sehat, Makanya Taubat!

“Katakanlah: “jika bapa-bapa, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan Rasul-Nya dan dari berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya.” Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik.” (At Taubah 24)

Ayat ini memulai kisah cinta manusia dengan keluarga, kekayaan, dan usahanya. Ini adalah gambaran cinta yang wajar dan dimiliki semua manusia. Semuanya adalah hal yang wajar untuk dicintai. Tetapi, pandangan ufuk tinggi mu’min sejati mengajarkan kehati-hatian agar ia tak melampaui prioritas cinta akan Allah, Rasul, dan Jihad.

Maka tunggulah samapai Allah mendatangkan keputusanNya. Kalimat ini begitu halus, seolah merupakan dialog dua hati yang terpaut mesra. Pasti, ada ikatan cinta antara kita dengan Allah yang telah begitu mendalam, yang selalu kita ikrarkan dalam persaksian, yang kemudian mengajarkan agar cinta kita adalah cinta yang sehat sepanjang jalan.

Ada banyak orang yang telah dilemahkan oleh cinta manusia. Cinta bukan menjadi energi yang mendorong produktivitas amal dunia-akhirat, tetapi menjadi beban yang memberati jiwa untuk bebas berbakti. Luar biasa kekhawatiran dalam diri Abu Bakar Ash Shiddiq ra, atas ‘Abdurrahman sang putra yang begitu mencintai Atika istrinya.

Amat kuat ikatan mereka berdua, seolah tak ada yang bisa memisahnya. Jangan sampai, pikir Abu Bakar, cinta ‘Abdurrahman pada istri membuatnya melalaikan jihad dan ibadah. Ceraikan istrimu! Begitu perintahnya pada sang putera. Lalu, demi mentaati sang ayah, ‘Abdurrahman pun menceraikan istrinya. Lihatlah perceraian agung ini, bukan karena ketidak cocokan satu sama lain, melainkan sebab kekhawatiran bahwa cintanya akan tumbuh tidak sehat.

Tentu saja nelangsa perasaan ‘Abdurrahman menanggung beban perceraian itu. Selama ini, meski ia mencintai Atikah dengan penuh kesungguhan, tapi ia tetap berusaha agar cinta itu tak menodai ikrar pada Allah untuk berjihad. Demi Allah, ia sudah berusaha. Kini, perasaan cinta yang begitu menggores itu melahirkan sya’ir yang dikenang sejarah:

Demi Allah, tidaklah aku melupakanmu
Walau mentari tak terbit meninggi
Dan tidaklah terurai air mata merpati itu
Kecuali berbagi hati
Tak pernah kudapati orang sepertiku
Menceraikan orang seperti dia
Dan tidaklah orang seperti dia
Dithalaq karena dosanya
Dia berakhlaq mulia, beragama,
dan bernabikan Muhammad
Berbudi pekerti tinggi, bersifat pemalu
dan halus tutur katanya

Luluh kemudian hati sang ayah. Mereka pun diizinkan rujuk kembali. Saat itulah, ‘Abdurrahman bin Abu Bakar menunjukkan kesucian cintanya. Ia buktikan bahwa cinta kepada istri tak pernah melebihi cinta akan Allah, Rasul, dan Jihad sampai ia syahid dalam perang tak berapa lama kemudian.

Membaca kisah ini menjadikan kita begitu malu. Betapa persepsi kita atas cinta begitu jauh dari apa yang difahami Abu Bakar maupun ‘Abdurrahman. Cinta suami-istri yang halalan thayyiban pun masih membuat mereka risau akan ridha tidaknya Allah. Sementara kita enteng saja mengatakan bahwa kita mencintai si dia karena Allah semata. Betapa ringan menulis, ‘Inni uhibbuki.. ukhtii, aku mencintaimu karena Allah.. ukhti’. Masyaallah.

Ada kisa yang menarik tentang Fatimah dan Ali, dua remaja yang tumbuh di bawah asuhan kenabian. Kisah itu berbentuk subuah dialog. “Suamiku..,” kata Fatimah, “Sebelum menikah denganmu, aku pernah sangat menyukai seorang laki2 dan aku sangat ingin menikah dengannya”. Berubah rona wajah Ali. Cemburu, marah, penasaran campur aduk jadi satu. Tapi tetap dengan kelembutan dan perasaannya yang halus dia berkata, “Apakah engkau menyesal menikah denganku?” Fatimah tersenyum geli melihat ekspresi sang suami. “Tidak”, ucapnya pelan. “Karena lelaki itu adalah.., engkau..”

Sumber : Buku Nikmatnya Pacaran Setelah Pernikahan (Salim A. Fillah)

Seolah Aku Bukan Diriku

Saya berfikir, bahwa keinginan yang kuat untuk berpacaran dalam diri kita -kalau ada- adalah manifestasi kepengecutan yang bertahta dalam sanubari. Kita pengecut, masih takut2 untuk menanggung beban dalam hidup berumahtangga. Dan di baliknya, kita begitu licik untuk bersegera menikmati sisi2 indah dalam hubungan dua insan. Benar2 pengecut.

Tapi, mari sejenak kita mengembara, menelusur jejak. Menelaah dengan penuh rasionalitas, apa jadinya kalu kita mencicipi manisnya tebu cinta yang ‘belum sah untuk dipanen’ dan tak bisa menanamnya kembali untuk sebuah masa depan yang terbentang di depan kita. Tahu maksudnya?

Yang pertama, betapa berbahayanya ia bagi kepribadian.

“Selama pacaran..”, kata ustadz Anis Matta dalam himpunan ceramah pernikahan, “Mereka berfikir sedang berusaha saling memahami..”

“Tapi bukan itu yang terjadi”, tegasnya. “Kenyataannya ialah mereka berusaha untuk tampil baik dari yang sebenarnya. Sehingga setiap kali berbicara, sebenarnya mereka sedang menyembunyikan diri masing2. Mereka sedang membuat iklan untuk menggoda pembeli. Karena takut bila pelanggan tidak puas, akhirnya ia akan ditinggalkan.”

Celakanya seorang remaja mudah terseret ke dalam gaya pribadi yang hipokrit. Kita igin tampil super di hadapan si doi. Kita ingin menjadi seorang yang perfect. Sayang, yang dibangun bukan perbaikan diri, tapi proses ‘penopengan diri’.

Ayat2 Al-Qur’an bicara kepada kita tentang kemunafikan. Perusak iman yang ternyata akan sering kita dapati bersesuaian dengan polah kita untuk mendapatkan perhatian si dia. Berkait dengan penampilan, misalnya dan lain2.

Tentu saja yang paling parah adalah ketika terjadi pergeseran orientasi dalam semua aktivitas dan amalan. Ketika sholat kita karena dia dan bukan Dia, ketika kita tahajud karena takut besok pagi bakalan ditanyain sama dia. Ternyata puasa sunah kita karena dia juga. Kita jadi pemberani dan jagoan karena di dekat kita ada dia. Kita rajin belajar karena dia. Astaghfirullah, kalau semua karena dia dan untuk si dia, lalu apa yang kita siapkan untuk bekal akhirat?

Ada baiknya kita dengar juga nasihat ustadz Didik Purwodarsono yang pernah dikutip ustadz Fauzil ‘Adhim dalam buku Saatnya Untuk Menikah. Dalam bahasa yang amat halus beliau mengatakan: Cara belajar untuk menjadi istri terbaik hanyalah melalui suami. Cara untuk menjadi suami terbaik hanyalah melalui istri. TIDAK BISA MELALUI PACARAN. Pacaran hanya mengajarkan bagaimana menjadi pacar terbaik, bukan suami atau istri terbaik.

Sumber : Buku Nikmatnya Pacaran Setelah Pernikahan (Salim A. Fillah)

Kusambut Engkau, Cinta

Cinta menjadikan pengecut sebagai pemberani, yang bakhil menjadi penderma, si bodoh jadi pintar, memfasihkan lidah, mempertajam pena para pengarang, menguatkan si lemah, mencerdaskan, serta mendatangkan kegembiraan dalam jiwa dan perasaan. Begitu kira2 yang dirangkum ustadz ‘Abdurrahman Al Mukaffi dari para pujangga dalam buku beliau yang legendaris, Pacaran dalam Kacamata Islam.

Bagaimana itu terjadi? Padahal selama ini kata cinta begitu dekat dengan nafsu, umbaran syahwat, dan perzinaan. Tentu saja ini dua kutub dalam menerjemahkan makna cinta. Yang pertama bisa menjadi kemuliaan dunia akhirat ketika manajemen cinta, menempatkan kepada siapa dan atas apa suatu cinta, didasari kesucian untuk menggapai ridha Allah. Sementara yang kedua adalah cermin konsep diri dan konsep hidup yang tidak jelas, childish, dan zhalim dalam memaknai cinta.

Anda wahai remaja, telah menyiapkan bekal untuk menyambut cinta. Kini bersiaplah menyambut tamu itu dengan bekal penuh. Bekal yang membuat cinta menjadi nikmat yang harus disyukuri, Alhamdulillah. Bekal yang menjadikan cinta sebagai energi keshalihan dalam perjalanan menuju ridha Allah. Bekal yang insyaallah, akan menempatkan kita di barisan depan pencinta sejati, pencinta Allah, RasulNya, dan pencinta kebenaran Islam.

Kita juga harus tahu bagaimana pandangan Islam tentang cinta kepada lawan jenis, apa definisinya, dan segala pernak-perniknya. Dan tentu bagaimana agar cinta ini tidak keluar dari kerangka cinta suci Ilahiah, bahkan menjadi pembangun kebersamaan dalam keshalihan.

“Dijadikan indah bagi manusia kecintaan terhadap apa2 yang diingini (syahwat) dari wanita2, anak2, dan harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, ternak, dan sawah ladang … “ (Al-Imran 14)

Ketertarikan pada pasangan hidup menempati posisi pertama dari syahwat kemanusiaan yang ditegaskan Allah sebagai hiasan kehidupan. Ketahuilah bahwa Allah tidak pernah menciptakan suatu noktah pun dengan sia2. Betapa Islam memahami kecenderungan fitrah, menerimanya apa adanya, lalu menjadikannya sumber kemuliaan dalam hidup yang akan dijalani seorang insan.

Islam memposisikan segala sesuatu dalam porsinya yang pas dan menentramkan. Kita tidak menjumpai perintah, bahkan terlarang untuk membunuh cinta dan hawa nafsu dengan merahibkan diri. Dan tentu sebaliknya, kita tidak diperkenankan mengumbarnya menjadi sumber penyakit, malapetaka, dan bencana kemasyarakatan. Islam meletakkan cinta dan hawa nafsu dalam kemuliaan. Kemuliaan berarti kendali terhadapnya yang dipenuhi rasionalitas, kemanfaatan, jiwa pelestarian, pembangunan, dan kematangan.

Maka Islam menghadirkan, bahkan sangat menganjurkan sebuah solusi bagi cinta dan syahwat itu: pernikahan. Sebuah ikatan yang menghalalkan apa yang sebelumnya haram. Sebuah ikatan yang membuat apa yang sebelumnya adalah dosa menjadi pahala. Sebuah ikatan yang mencerdaskan, mendewasakan, mematangkan, dan membuat hidup menjadi bermakna.

Kalau kemampuan memang belum hadir, maka keinginan dan niat yang suci tetap harus ada, agar kita tak termasuk salah satu golongan yang disebut Al Imam Ahmad ibn Hanbal.

“Jika ada seorang pemuda yang tidak berkeinginan menikah, maka hanya dua kemungkinannya, banyak bermaksiat atau diragukan kejantanannya?”

Rabbi.., bila ku jatuh hati
Ku ingin terbang cepat
Hingga syaitan tak sanggup hinggap

Sumber : Buku Nikmatnya Pacaran Setelah Pernikahan (Salim A. Fillah)