Cinta menjadikan pengecut sebagai pemberani, yang bakhil menjadi penderma, si bodoh jadi pintar, memfasihkan lidah, mempertajam pena para pengarang, menguatkan si lemah, mencerdaskan, serta mendatangkan kegembiraan dalam jiwa dan perasaan. Begitu kira2 yang dirangkum ustadz ‘Abdurrahman Al Mukaffi dari para pujangga dalam buku beliau yang legendaris, Pacaran dalam Kacamata Islam.
Bagaimana itu terjadi? Padahal selama ini kata cinta begitu dekat dengan nafsu, umbaran syahwat, dan perzinaan. Tentu saja ini dua kutub dalam menerjemahkan makna cinta. Yang pertama bisa menjadi kemuliaan dunia akhirat ketika manajemen cinta, menempatkan kepada siapa dan atas apa suatu cinta, didasari kesucian untuk menggapai ridha Allah. Sementara yang kedua adalah cermin konsep diri dan konsep hidup yang tidak jelas, childish, dan zhalim dalam memaknai cinta.
Anda wahai remaja, telah menyiapkan bekal untuk menyambut cinta. Kini bersiaplah menyambut tamu itu dengan bekal penuh. Bekal yang membuat cinta menjadi nikmat yang harus disyukuri, Alhamdulillah. Bekal yang menjadikan cinta sebagai energi keshalihan dalam perjalanan menuju ridha Allah. Bekal yang insyaallah, akan menempatkan kita di barisan depan pencinta sejati, pencinta Allah, RasulNya, dan pencinta kebenaran Islam.
Kita juga harus tahu bagaimana pandangan Islam tentang cinta kepada lawan jenis, apa definisinya, dan segala pernak-perniknya. Dan tentu bagaimana agar cinta ini tidak keluar dari kerangka cinta suci Ilahiah, bahkan menjadi pembangun kebersamaan dalam keshalihan.
“Dijadikan indah bagi manusia kecintaan terhadap apa2 yang diingini (syahwat) dari wanita2, anak2, dan harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, ternak, dan sawah ladang … “ (Al-Imran 14)
Ketertarikan pada pasangan hidup menempati posisi pertama dari syahwat kemanusiaan yang ditegaskan Allah sebagai hiasan kehidupan. Ketahuilah bahwa Allah tidak pernah menciptakan suatu noktah pun dengan sia2. Betapa Islam memahami kecenderungan fitrah, menerimanya apa adanya, lalu menjadikannya sumber kemuliaan dalam hidup yang akan dijalani seorang insan.
Islam memposisikan segala sesuatu dalam porsinya yang pas dan menentramkan. Kita tidak menjumpai perintah, bahkan terlarang untuk membunuh cinta dan hawa nafsu dengan merahibkan diri. Dan tentu sebaliknya, kita tidak diperkenankan mengumbarnya menjadi sumber penyakit, malapetaka, dan bencana kemasyarakatan. Islam meletakkan cinta dan hawa nafsu dalam kemuliaan. Kemuliaan berarti kendali terhadapnya yang dipenuhi rasionalitas, kemanfaatan, jiwa pelestarian, pembangunan, dan kematangan.
Maka Islam menghadirkan, bahkan sangat menganjurkan sebuah solusi bagi cinta dan syahwat itu: pernikahan. Sebuah ikatan yang menghalalkan apa yang sebelumnya haram. Sebuah ikatan yang membuat apa yang sebelumnya adalah dosa menjadi pahala. Sebuah ikatan yang mencerdaskan, mendewasakan, mematangkan, dan membuat hidup menjadi bermakna.
Kalau kemampuan memang belum hadir, maka keinginan dan niat yang suci tetap harus ada, agar kita tak termasuk salah satu golongan yang disebut Al Imam Ahmad ibn Hanbal.
“Jika ada seorang pemuda yang tidak berkeinginan menikah, maka hanya dua kemungkinannya, banyak bermaksiat atau diragukan kejantanannya?”
Rabbi.., bila ku jatuh hati
Ku ingin terbang cepat
Hingga syaitan tak sanggup hinggap
Sumber : Buku Nikmatnya Pacaran Setelah Pernikahan (Salim A. Fillah)